BELAJAR BERSYUKUR DARI SRISANCE

Sri sedang sibuk dengan kambingnya.

Lonceng sekolah berbunyi beberapa kali, suara riuh mulai terdengar dari ujung gedung sekolah. Rupanya waktu belajar telah usai, peserta didikpun mulai berhamburan keluar. Siang ini saya mengajar di kelas XII IPA, menggantikan Ibu Ribka, guru Bahasa Indonesia yang beberapa waktu ke depan tidak bisa mengisi pelajaran karena suatu alasan yang tidak dapat ditinggalkan. Mengajar di tingkat XII memunyai tantangan tersendiri buat saya. Ruangan yang tidak ada skat (pembatas) antara ruang kelas IPA dengan IPS menuntut saya untuk berpikir keras dan konsentrasi penuh ketika mengajar. Berbagi ruang dangan guru dan materi yang berbeda memang terasa sangat sulit awalnya, tapi karena keadaan mengharuskan semua begitu, mau tidak mau harus tetap dijalani dan harus segera menjadi biasa.

Hampir tiga minggu di tempat tugas, sudah banyak sekali hal menarik yang saya dapatkan. Mulai dari menjumpai ruang guru yang sepi, siswa yang datang ke sekolah awalnya minimal pukul 8-9 pagi (mungkin karena perjalanan jauh), sampai setiap hari harus mendengar gerutu guru kontrak tentang honor yang sifatnya problematik menggelitik hati. Sebenarnya sedih melihat kondisi demikian, tapi ketika mulai memahami satu dan lainnya, hal-hal itu memang beralasan, semua dapat diterima akal pikiran. Akses jalan sangat susah, honor guru rendah, serta sarana prasarana yang lemah menjadi kendala utama yang (menurut saya) sebetulnya bisa diselesaikan dengan baik asalkan semua pihak bisa saling bekerjasama. Intinya setiap sisi punya cerita dan setiap bagian mengandung pelajaran.

Bicara tentang hal menarik, sejauh ini ada satu hal paling menarik yang pernah saya dapati. Hal itu terjadi pada tanggal 7 September 2015. Sepulang sekolah tepatnya, saya melihat salah satu siswa saya kelas XII yang bernama SRISANCE sedang asik di semak-semak depan sekolah (entah) dengan seorang, sesosok atau seekor yang dari kejauhan terlihat berwarna putih agak ke hitam-hitaman. Awalnya saya biasa-biasa saja, tapi rasa penasaran alias sifat “ingin tahu” yang sudah tidak terbantahkan lagi, memaksa saya untuk segera mendekati si SRI.

“SRI kamu sedang apa?” tanya saya dengan aksen sok ke Alor-aloran.
“Sa mau bawa pulang sa pung kambing, Bapak Guru.” jawab SRI dengan ekspresi muka khas Alornya.
“Loh, jadi kamu tadi berangkat sekolah su bawa ini kambing? SRI tidak takut kambingnya diambil orang? Kenapa harus dibawa ke sekolah?”
“Tidak bapak, tidak akan hilang sa pung kambing. Iya bapak, di sini kambing bisa makan, di rumah sa pung kambing tdk ada yang beri makan.” SRI menjawab dengan volume lirih dengan tempo waktu yang cukup lama, seperti biasanya.
“Oh.. Kalau begitu na, pk jalan pulang dulu ya.. hati-hati bawa kambingnya.”

Ini luar biasa. Pemandangan yang belum tentu saya dapatkan di luar sana. Peristiwa yang membuat saya lagi-lagi harus mengucap syukur dengan apa yang sudah saya dapatkan dan saya lakukan selama ini. Memiliki kehidupan layak, baik dari tempat tinggal, sekolah, atau sarana prasarana yang lainnya. Saya tidak perlu berjalan berkilo-kilo meter, menyeberang hutan, mendaki gunung dengan jurang di samping kanan atau kiri hanya untuk berangkat ke sekolah. Saya tidak perlu membawa jeriken (jrigen) berisi air dari rumah hanya untuk menipiskan debu tebal dari lantai tanah ruang kelas. Dan saya tidak perlu membawa hewan peliharaan semacam “KAMBING” seperti yang dilakukan SRI hanya karena takut satu harta berharga miliknya itu mati kelaparan ditinggal ke sekolah.

Beruntungnya kita, yang bisa menikmati semuanya dengan mudah tanpa harus bersusah payah. Bersyukurlah kita, karena benar di luar sana masih banyak yang lebih menderita dari apa yang kita rasa.

Ini bukan sekadar CERITA tapi ini REALITA.

2 $type={blogger} :

bersyukur sekali kamu punya pengalaman kaya gini mbul

September 21, 2015 at 7:01 PM comment-delete

Mantap pak Gis. Cerita yang menginspirasi banyak orang

June 29, 2016 at 4:20 AM comment-delete

Post a Comment